(serial kedua dari tulisan Prof. Dr. Azyumardi Azra "Pesantren: kontinuitas dan Perubahan)
![]() |
PONDOK ALQOHAR - KEGIATAN KHOTMIL QUR'AN BERSAMA |
Tetapi sekolah desa ini,
setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya, cukup mengecewakan. Bagi
pemerintah Belanda, sekolah desa ini tidak berhasil mencapai tujuan seperti
yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu
pengajaran yang amat rendah. Di sisi lain, kalangan pribumi, khususnya di Jawa,
terdapat resistensi yang kuat terhadap sekolah-sekolah ini, yang mereka pandang
sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk
“membelandakan” anak-anak mereka. Respon yang relatif baik—untuk tidak
mengatakan antusias—terhadap sekolah desa ini justru muncul di Minangkabau,
sehingga banyak surau—yang merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam—yang
ditransformasikan secara formal menjadi sekolah-sekolah nagari. Sekolah-sekolah
nagari yang semula merupakan surau tersebut, ternyata tidak sepenuhnya
mengikuti kurikulum yang digariskan pemerintah Belanda, sehingga mendorong
Belanda untuk melakukan standisasi kurikulum, metode pengajaran dan lain-lain.
Poin penting dalam eksperimen
Belanda dengan sekolah desa atau sekolah nagari, sejauh dalam kaitannya dengan
sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, adalah transformasi sebagian surau di
Minangkabau menjadi sekolah nagari model Belanda. Memang, berbeda dengan
masyarakat muslim di Jawa umumnya yang memberikan respon yang dingin, banyak
kalangan masyarakat muslim Minangkabau memberikan respon yang cukup baik
terhadap sekolah desa. Perbedaan respon di antara masyarakat Jawa dengan
Minangkabau ini banyak berkaitan dengan watak kultural yang relatif berbeda di
antara kedua masyarakat ini, dan juga berkaitan dengan pengalaman historis yang
relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam
berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain mendapatkan tantangan dari
sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional Islam juga harus berhadapan
dengan sistem pendidikan modern Islam. Dalam konteks pesantren, tantangan
pertama dating dari sistem pendidikan Belanda, sebagaimana dikemukakan di atas.
Bagi para eksponen sistem pendidikan Belanda, seperti Sutan Takdir Ali
Syahbana, sistem pendidikan pendidikan pesantren harus ditinggalkan atau
setidaknya, ditransformasikan sehingga mampu mengantarkan kaum muslim ke
gerbang rasionalitas dan kemajuan. Jika pesantren dipertahankan, menurut
Takdir, berarti mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan kaum muslim.
Tetapi, sebagaimana kita ketahui, pesantren tetap bertahand alam
kesendiriannya.
Tantangan yang lebih merangsang
pesantren untuk memberikan responnya, justru datang dari kaum reformis atau
modernis muslim. Gerakan reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal
abad 20 berpendapat, bahwa untuk menjawab tantangan dan kolonialisme dan
Kristen, diperlukan reformasi sistem pendidikan Islam. Dalam konteks inilah
kita menyaksikan munculnya dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam; pertama,
sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam; Kedua,
Madrasah Modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi
pendidikan modern Belanda. Dalam bentuk pertama, kita bisa menyebut, misalnya
Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909,
dan sekolah-sekolah umum model Belanda (tetapi met de Qur’an) yang didirikan organisasi
semacam Muhammadiyah. Sedangkan pada bentuk kedua, kita menemukan “sekolah
Diniyah” Zainuddin Labbay al-Yunusi, atau Sumatera Thawalib, atau Madrasah yang
didirikan Al-Jami’atul Al-Khoiriyyah, dan kemudian juga Madrasah yang didirikan
organisasi al-Irsyad.
Bagaimanakah respon sistem
pendidikan tradisional Islam, seperti Surau (Minangkabau) dan Pesantren (Jawa)
terhadap kemunculan dan ekspansi sistem pendidikan modern Islam ini? Karel
Steenbrink dalam konteks Surau tradisional menyebutnya sebagai “menolak sambil
mengikuti”, dan dalam konteks Pesantren menyebut sebagai “Menolak dan
mencontoh”. Sembari menolak beberapa pandangan dunia kaum reformis, kaum
tradisi di Minangkabau memandang ekspandi sistem dan kelembagaan pendidikan modern
Islam sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi dan kelangsungan Surau.
Untuk itu, dalam pandangan mereka,
Surau harus mengadopsi pula beberapa unsur pendidikan modern—yang telah
diterapkan kaum reformis—khususnya sistem klasikal dan penjenjangan. Tetapi
penting dicatat, adopsi ini dilakukan tanpa mengubah secara signifikan isi
pendidikan surau itu sendiri.
Respon yang hamper sama juga
diberikan pesantren di Jawa. Seperti kalangan surau di Minangkabau, komunitas
pesantren menolak paham dan asusmsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada
saat yang sama mereka juga—kecuali dalam batas tertentu—mengikuti jejak langkah
kaum reformis, untuk bisa tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan
sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan
mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para
santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem
klasikal.
Dalam kaitan ini, Pesantren
Mambaul Ulum di Surakarta mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk
respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan belanda dan pendidikan modern
islam. Pesantren Mamul Ulum yang didirikan Susuhunan oleh Pakubuwono pada tahun
1906 ini merupakan perintis bagi penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam
pendidikan pesantren. Menurut laporan inspeksi pendidikan Belanda pada tahun
tersebut, Pesantren Mambaul Ulum telah memasukkan mata pelajaran membaca
[tulisan Latin], aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya.
Rintisan pesantren Mambaul Ulum
ini kemudian diikuti beberapa pesantren lain. Pesantren Tebuireng misalnya,
pada tahun 1916 mendirikan sebuah “Madrasah Salafiyah” yang tidak hanya
mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukkan beberapa pelajaran
umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan huruf
Latin ke dalam kurikulumnya. Model ini kemudian diikuti banyak pesantren
lainnya. Salah satu yang terpenting adalah Pesantren Rejoso di Jombang, yang
mednirikan sebuah madrasah pada tahun 1927. Madrasah ini juga memperkenalkan
mata-mata pelajaran non keagamaan dalam kurikulumnya.
Respon yang sama tetapi dalam
nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman pondok modern Gontor.
Berpijak pada basis sistem dan kelembagaan pesantren, pada tahun 1926
berdirilah Pondok Modern Gontor. Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata
pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk
mempelajari bahasa Inggris—selain bahasa Arab—dan melaksanakan sejumlah
kegiatan ekstra-kurikuler seperti olahraga dan kesenian.
Bahkan sejumlah pesantren
bergerak lebih maju lagi. Berkaitan dengan gagasan tentang “kemandirian” santri
setelah menyelesaikan pendidikan mereka di pesantren, beberapa pesanten
memperkenalkan semacam kegiatan atau latihan keterampilan (vocational)
dalam sistem pendidikan mereka. Salah satu organisasi Islam yang memberi penekanan khusus pada aspek vocational
ini adalah organisasi Persyarikatan Ulama di Jawa Barat. Organisasi ini
mendirikan sebuah lembaga pada tahun 1932 atas basis kelembagaan pesantren,
yang kemudian disebutnya sebagai “Santi Asrama”. Haji abdul Halim yang
merupakan pendiri Persyarikatan Ulama memperkenalkan pemberian latihan
keterampilan bagi para santri.
Deskripsi singkat di atas sedikit
banyak menjelaskan bagaimana respon pesantren dalam menghadapi berbagai
perubahan di sekelilingnya. Dalam menghadapi semua perubahan dan tantangan itu,
para eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransfromasikan
kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya,
tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati-hati (cauticus
policy); mereka menerima pembaruan (modernisasi) pendidikan Islam hanya
dalam skala yang sangat terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren bisa tetap survive.
Pengalaman pesantren dalam
memberikan responya pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan lagi-lagi
memperlihatkan kealotan pesantren. Pada periode ini pesantren menghadapi
tantangan lebih berat lagi, khususnya disebabkan adanya ekspansi sistem
pendidikan umum dan madrasah modern. Kaum Muslim sekarang ini umumnya memiliki
semakin banyak pilihan dalam mencarikan pendidikan buat anak-anak mereka; ada
sekolah-sekolah umum, sekolah-sekolah islam (seperti yang dikelola Muhammadiyah
dan organisasi-organisasi Muslim lainnya), ada pula madrasah-madrasah, dan
tentu saja, pesantren itu sendiri. Dampak yang paling jelas dari perkembangan
ini adalah stagnasi, jika tidak kemerosotan jumlah para santri di
pesantren-pesantren pada umumnya. Tetapi, kesulitan ekonomi yang dihadapi
Indonesia pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, membuat pendidikan pesantren
yang amat murah itu kelihatannya menjadi alternatif terbaik bagi banyak
kalangan Muslim miskin di banyak wilayah pedesaan Jawa.
Namun penting dikemukakan, bahwa
di sisi lain, jumlah santri di pesantren-pesantren besar terus mengalami
pertambahan yang konstan. Pesantren-pesantren besar ini semakin banyak menarik
santri, tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa. Termasuk
di antara pesantren yang mengalami perkembangan semacam ini adalah Pesantren
tebuireng, Pesantren Lirboyo, Pesantren Tambakberas, dan Pondok Modern Gontor.
Dalam penelitiannya pada tahun 1955, Departemen Agama mencatat terdapat 30.368
pesantren, dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai perbandingan saja,
pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren adalah sekitar 32.000 buah dengan
sekitar 2 juta santri. Angka-angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren
mengalami ekspansi, meski berada di bawah sistem dan kelembagaan pendidikan
lainnya.
Mirip dengan pesantren pada masa kolonial,
pesantren di masa kemerdekaan juga membeikan respon terhadap ekspansi sistem
pendidikan umum yang disebarkan pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikan
mereka. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam hal ini: pertama,
merevisi kurikulumnya dengan
memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum; kedua,
membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan
pendidikan umum.
Cara pertama, seperti telah
dikemukakan di atas, telah dimulai kalangan pesantren sejak masa Belanda, meski
dengan skala yang sangat terbatas. Tetapi dalam masa kemedekaan, pembaruan
kurikulum it uterus menemukan momentumnya. Namun perlu ditegaskan, bahwa
pembaruan kurikulum ini tidak berjalan merata di seluruh pesantren, bahkan
pesantren-pesantren yang menerima pembaruan tersebut hanya menerapkannya secara
terbatas. Tambahan lagi, terdapat banyak pesantren yang dipimpin oleh kiai
lebih konservatif yang umumnya cenderung sangat resistan terhadap pembaruan
kurikulum atau substansi pendidikan pesantren.
Dalam masa-masa kesulitan ekonomi
yang dihadapi Indonesia pada decade 1950-an dan awal 1960-an pembaruan
pesantren banyak berkenaan dengan pemberian keterampilan, khususnya dalam
bidang pertanian, yang tentu saja diharapkan bisa menjadi bekal bagi para
santri; selain untuk menunjang ekonomi pesantren itu sendiri. Penekanan pada
bidang keterampilan ini dengan mudah bisa dipahami; dalam masa-masa sulit
seperti itu, pesantren semakin dituntut untuk self-supporting dan self-financing.
Karena itu, banyak pesantren di pedesaan—seperti di Tebuireng dan Rejoso—mengarahkan
para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegitan vocational di
bidang pertanian, seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, dan kopi. Hasil penjualan
dari usaha pertanian seperti itu selanjutnya digunakan untuk membiayai
pesantren. Pada waktu yang bersamaan, pesantren-pesantren besar, seperti
Gontor, Tebuireng, Denanyar, Tambakberas, dan Tegalrejo mulai pula mendirikan
dan mengembangkan koperasi. Melalui koperasi ini, minat kewirausahaan para
santri dibangkitkan, untuk kemudian diarahkan menuju pengembangan dan
pengelolaan usaha-usaha ekonomi yang sangat diperlukan bila sang santri kembali
ke masyarakat.
Begitu juga cara kedua, yang
sebenarnya telah mulai dikembangkan beberapa pesantren sejak masa Belanda,
seeprti dikemukakan di atas. Tetapi dalam masa kemerdekaan, cara kedua ini
semakin menemukan momentumnya, khususnya karena persaingan pesantren dengan
sistem kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan di bawah tanggung jawab dan
pengawasan Departemen Agama—yang sejak 1950-an melancarkan pembaruan madrasah
setelah sebelumnya “menegerikan”banyak madrasah swasta.
Untuk merespons perkembangan ini,
semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah di dalam kompleks pesantren
masing-masing. Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren
dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para
santri [umumnya mukim] yang ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam;
dan sekaligus merupakan madrasah bagi anak-anak di lingkungan pesantren. Boleh jadi,
sebagian murid-murid madrasah ini juga menjadi santri mukim di pesantren yang
bersangkutan. Tetapim setidaknya dengan terdaftar sebagai murid madrasah,
mereka kemudian mendapat pengakuan dari Departemen Agama, dan dengan demikian
memiliki akses lebih besar tidak hanya dalam melanjutkan pendidikan, tetapi
juga dalam lapangan kerja. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak jarang
ditemukan pesantren yang memiliki lebih banyak murid madrasah daripada santri
yang betul-betul melakukan tafaqquh fid din.
Lebih jauh lagi, beberapa
pesantren tidak berhenti dengan eksperimen madrasahnya. Beberapa pesantren
bahkan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum yang berada di bawah sistem
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; bukan sistem pendidikan agama yang berada
di bawah Departemen Agama. Dengan kata lain, pesantren bukan hanya mendirikan
madrasah, tetapi juga sekolah-sekolah umum, yang mengikuti sistem dan kurikulum
Departemen P & K.
Di antara pesantren-pesantren
yang dapat dipandang sebagai perintis dalam eksperimen ini adalah Pesantren
Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 1965 mendirikan
Universitas Darul Ulm, yang terdaftar pada Departemen P & K. universitas
ini terdiri dari lima fakultas; dan hanya satu fakultas yang merupakan fakultas
agama Islam. Pesantren lain yang juga menempuh cara ini adalah Pesantren
Miftahul Ulum Muallimin di Babakan Ciwaringin, Jawa Barat, yang mendirikan
sebuah STM. Dalam masa-masa lebih belakangan, eksperimen seeprti ini dilakukan
oleh semakin banyak pesantren, sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak
kalangan yang ingin mempertahankan identitas pesantren sebagai lembaga
pendidikan untuk tafaqquh fid din, atau mempersiapkan calon-calon ulama,
bukan untuk kepentingan-kepentingan lain, khususnya pengisian lapangan kerja.
Pada saat yang sama terdapat
kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi
kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional,
kepemimpinan pesantren dipegang langsung oleh satu atau dua orang kiai, yang
biasanya merupakan pendiri pesantren yang bersangkutan. Tetapi perkembangan
kelembagaan pesantren ini, terutama disebabkan adanya diversifikasi pendidikan
yang diselenggarakannya, yang juga mencakup madrasah dan sekolah umum, maka
kepemimpinan tunggal kiai tidak memadai lagi. Banyak pesantren kemudian
mengembangkan kelembagaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan
kolektif.
Salah satu contoh dalam hal
transisi kepemimpinan pesantren tadi adalah Pesantren Maskumambang di Gresik,
yang sejak didirikan pada tahun 1859 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH.
Abdul Jabbar. Tetapi pada tahun 1958 kepemimpinan pesantren ini diserahkan
kepada Yayasan Kebangkitan Umat Islam. Dengan perubahan pola kepemimpinan dan
manajemen ini, maka ketergantungan kepada seorang kiai seperti dalam
pesantren-pesantren zaman dulu jarang terjadi. Kenyataan ini merupakan salah
satu factor penting yang membuat pesantren semakin lebih mungkin untuk bertahan
dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.
Pesantren menghadapi pengalaman dan mencoba eksperimen yang pada dasarnya
sama dalam masa pemerintahan Orde Baru. Bertitik tolak pada pertumbuhan ekonomi,
pemerintahan Orde Baru juga menaruh harapan pada pesantren untuk menjadi salah
satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Dengan demikian, pesantren
diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya, yakni: pertama,
transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam; kedua, pemeliharaan tradisi
Islam; dan ketiga, reproduksi ulama.
Sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah Orde baru,
pembaruan pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia
dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan
tantangan zaman. Dalam konteks ini, misalnya, substansi ilmu kalam yang
diajarkan di pesantren diharapkan bukan lagi Teologi Asy’ariyyah atau
Jabariyyah, tetapi teologi yang kondusif bagi pembangunan, yakni teologi yang
lebih mendorong bagi tumbuhnya prakarsa, usaha, atau etos kerja.
Selain itu, pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi (atau,
tepatnya refungsionalisasi) pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi
pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang
khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada
msyarakat itu sendiri (people-centered development) dan sekaligus
sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented
development).
Dalam kaitan gagasan itulah pesantren diharapkan tidak lagi sekedar
memainkan ketiga fungsi tradisional tadi, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan
kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan;
pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup; dan lebih
penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Dalam
konteks terakhir, terlihat semakin banyak pesantren yang terlibat dalam
aktivitas-aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha-usaha
agribisnis yang mencakup pertaniantanaman pangan, peternkan, perikanan, dan
kehutanan; pengembangan industri rumah tangga atau industri kecil seperti
konvenksi, kerajinan tangan, pertokoan, dan koperasi.
Bisa disimpulkan bahwa respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan
Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat
Indonesia sejak awal abad ini mencakup: pertama, pembaruan substansi
atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational;
kedua, pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan; ketiga,
pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga
pendidikan; dan keempat, pembaruan fungsi, dari semula hanya fungsi
kependidikan, dikembangkan sehingga juga mencakup fungsi sosial-ekonomi.
Diketik ulang oleh
Ayiko Musashi
Prof. Dr.
Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan”, dalam buku Dr.
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:
Paramadina, 1997.
Komentar
Posting Komentar