(serial ketiga dari tulisan Prof. Dr. Azyumardi Azra "Pesantren: Perubahan dan Kontinuitas")
Dengan demikian jelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan. Tetapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang diberikannya, pesantren pada giliranya juga mampu mengembangkan diri, dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sIstem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.
Secara fisik pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenomenal.
Berkat peningkatan ekonomi umat Islam, sekarang ini tidak sulit mencari
pesantren-pesantren yang memiliki gedung- gedung dan fasilitas-fasilitas fisik
lainnya yang cukup megah dan mentereng. Pesantren, dengan demikian, tidak lagi bisa
sepenuhnya diasosiasikan dengan fasilitas fisik seadanya, dengan asrama yang
penuh sesat dan tidak higienis, misalnya.
Ekpansi pesantren juga biasa dilihat dari pertumbuhan pesantren
yang semula hanya rulal based institution kemudian berkembang menjadi lembaga
pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta,
Bandung, Medan, Pekanbaru, Yogyakarta, Malang, Semarang, Ujungpandang, atau
wilayah sub-urban Jakarta seperti parung atau cilangkap. Seperti dikemukakan
Zamakhszari Dhofier, di antara pesantren perkotaan yang muncul pada 1980-an
adaiah pesantren Darun Najah dan Ashidiqiyah di Jakarta; pesantren Nurul Hakim,
Al-kautsar, Darul Arofah di Medan, dan Darul Hikmah di Pekan Baru.
Dengan demikian, pesantren tidak lagi identik dengan kelembagaan
pendidikan Islam yang khas jawa; tetapi juga diadopsi oleh wilayah-wilayah
lain. Istilah “pesantren “ itu sendiri telah cukup lama digunakan misalnya di
Sulawesi, atau Kalimantan. Belakangan istilah “pesantren “ juga diadopsi di
Sumatra Barat untuk menggantikan nama kelembagaan pendidikan Islam tradisional
lainya, yakni “surau” yang terlanjur mengandung konotasi peyoratif. Sahingga sekarang di
Pasar Using, sebuah wilayah sub- urban kota Padang, Sumatra Barat, muncul sebuah
pesantren yang bernama “Pesantern Modern Prof. Dr. Hamka .“
Tak kurang pentingnya dalam pembicaraan “ekspasio” pesantren adalah
pengadopsian aspek-aspek tertentu sistem pesantren oleh lembaga pendidikan
umum. Sebagai contoh adalah pengadopsian sistem pengasramaan murid SMU
“unggulan” yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir, walau dengan
menggunakan istilah inggris, ”boarding school”, seperti yang dilakukan SMU Madaniya di Parung. Kalau
kita perhatikan, sistem “boarding” sebenarnya merupakan salah satu karateristik
dasar sistem pendidikan pesantren, yang dikenal sebagai sistem santri mukim.
Persoalan tentang apakah “boarding system” pada sekolah unggulan seperti Madaniya
itu akan berhasil atau tidak, tentu saja merupakan persoalan lain yang
memerlukan kajian tersendiri.
~ diketik ulang oleh Wasiti dan Rina Utami dari buku Cak Nur Kholis Madjid, "Bilik-Bilik Pesantren"
Komentar
Posting Komentar